Ilustrasi penyadapan telepon
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana mengatur mekanisme penyadapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal itu terlihat dalam rencana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Dalam UU KPK
saat ini tak diatur mekanisme penyadapan. Pada Pasal 12 ayat 1a hanya
disebutkan KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
Bagaimana pengaturan penyadapan yang diusulkan?
Dalam draf revisi,
tak disebutkan KPK berwenang merekam pembicaraan atau hanya melakukan
penyadapan. Disisipkan pula satu pasal, yakni Pasal 12 A ayat 1 yang
berisi pengaturan penyadapan. Dalam ayat 1, persyaratan penyadapan,
yakni setelah adanya bukti permulaan yang cukup, dilaksanakan oleh
penyidik KPK, dan mendapat persetujuan pimpinan KPK.
Pada ayat 2
diatur, pimpinan KPK meminta izin tertulis terlebih dulu dari ketua
pengadilan negeri untuk melakukan penyadapan. Pada ayat 3, KPK dapat
menyadap sebelum mendapat izin dari ketua pengadilan negeri asalkan
dalam keadaan mendesak.
Namun, setelah melakukan penyadapan,
pimpinan KPK harus meminta izin tertulis dari ketua pengadilan negeri
dalam waktu paling lama 1 x 24 jam setelah dimulainya penyadapan.
Diatur
pula, semua penyadapan harus dilaporkan kepada pimpinan KPK setiap
bulan. Penyadapan dapat dilakukan paling lama tiga bulan sejak keluarnya
izin dari ketua pengadilan negeri.
Izin penyadapan dapat
diperpanjang satu kali untuk jangka waktu yang sama. Pengaturan lain,
penyadapan harus dipertanggungjawabkan kepada pimpinan KPK paling lambat
14 hari setelah penyadapan. Dalam draf disebutkan, hasil penyadapan
bersifat rahasia kecuali untuk kepentingan peradilan.
Terkait
berbagai pengaturan itu, kajian Badan Legislasi DPR menyebutkan, syarat
adanya izin dari ketua pengadilan negeri dapat mengakibatkan kebocoran
informasi. Semakin panjang birokrasi penyadapan dikhawatirkan akan
memperlama proses penyadapan sehingga kemungkinan data atau bukti yang
hilang akan semakin besar.
Kajian Baleg lainnya, permintaan izin
dapat mengakibatkan konflik kepentingan jika kasus korupsi tersebut
menyangkut pengadilan. Hal lain, menurut Baleg, pembatasan waktu
penyadapan yang cukup pendek membuat KPK tidak leluasa dalam
mengumpulkan alat bukti.
Kewenangan dipereteli
Sebelumnya, Ketua KPK Abraham Samad menanggapi keras rencana revisi UU KPK yang disinyalir akan mengurangi sejumlah kewenangan lembaga antikorupsi itu. (Baca: Abraham: Kewenangan Dipereteli, Bubarkan Saja KPK!)
"Kalau penuntutan maupun penyadapan dipereteli, mendingan KPK dibubarkan saja," kata Ketua KPK Abraham Samad di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (19/9/2012).
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menilai revisi UU KPK bentuk perilaku koruptif dari politisi lantaran tidak transparan dan akuntabel. Beberapa wacana revisi UU KPK, menurut dia, sulit diterima akal sehat, seperti pengaturan mekanisme penyadapan yang harus mendapat izin terlebih dulu dari pengadilan negeri setempat.
"Penyadapan itu menjadi kekuatan kami. Bayangkan saja kalau yang mau disadap itu orang pengadilan. Mengajukan izin, surat itu masuk ke panitera dulu. Kalau paniteranya tidak berintegritas, tidak bermoral, langsung dibocori. Nangis Mas Bambang Widjojanto (Wakil Ketua KPK), yang lain juga nangis. Ini logika yang sulit dipahami akal yang waras. Menyedihkan sekali," kata Busyro beberapa waktu lalu.
Selama ini, KPK berhasil menangkap tangan proses suap-menyuap setelah melakukan penyadapan sebelumnya. Hasil sadapan itu pun diputar di pengadilan tindak pidana korupsi untuk menguatkan dakwaan.
Kewenangan dipereteli
Sebelumnya, Ketua KPK Abraham Samad menanggapi keras rencana revisi UU KPK yang disinyalir akan mengurangi sejumlah kewenangan lembaga antikorupsi itu. (Baca: Abraham: Kewenangan Dipereteli, Bubarkan Saja KPK!)
"Kalau penuntutan maupun penyadapan dipereteli, mendingan KPK dibubarkan saja," kata Ketua KPK Abraham Samad di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (19/9/2012).
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menilai revisi UU KPK bentuk perilaku koruptif dari politisi lantaran tidak transparan dan akuntabel. Beberapa wacana revisi UU KPK, menurut dia, sulit diterima akal sehat, seperti pengaturan mekanisme penyadapan yang harus mendapat izin terlebih dulu dari pengadilan negeri setempat.
"Penyadapan itu menjadi kekuatan kami. Bayangkan saja kalau yang mau disadap itu orang pengadilan. Mengajukan izin, surat itu masuk ke panitera dulu. Kalau paniteranya tidak berintegritas, tidak bermoral, langsung dibocori. Nangis Mas Bambang Widjojanto (Wakil Ketua KPK), yang lain juga nangis. Ini logika yang sulit dipahami akal yang waras. Menyedihkan sekali," kata Busyro beberapa waktu lalu.
Selama ini, KPK berhasil menangkap tangan proses suap-menyuap setelah melakukan penyadapan sebelumnya. Hasil sadapan itu pun diputar di pengadilan tindak pidana korupsi untuk menguatkan dakwaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar